Minggu, 02 Mei 2010
PANGANAN KHAS KHUTO SRAGEN
Sragen, selain kaya akan prestasi ternyata juga kaya akan makanan tradisional. Salah satunya adalah makanan khas yang diproduksi oleh Mbah Sumo Diharjo yang lebih akrab dipanggil Mbah Rajak. Sudah 40 tahun mbah Rajak berjualan aneka macam makanan tradisional, antara lain: Jenang, trasikan, wajik, jadah, dan aneka lauk pauk.
Karena banyaknya pembeli, selain berjualan di pasar Bunder, mbah Rajak juga melayani pembeli yang langsung datang dirumah. Banyak sekali pembeli yang sudah menjadi langganannya karena itu setiap hari warung mbah Rajak di pasar tidak pernah sepi oleh pembeli. Mulai pagi sampai sore makanannya selalu diserbu pembeli dan jarang sekali makanan tersebut sampai sisa. Bahkan tidak jarang pembeli yang datang berasal dari luar daerah dan menjadikan makanan khas Sragen buatan mbah Rajak ini sebagai oleh-oleh.
Dari hasil penjualan dagangannya setiap harinya mbah Rajak mendapat penghasilan sekitar Rp. 4 juta. Jenang buatannya dijual Rp 20.000 per kilo, sedangkan trasikan dan wajik dijualnya Rp 25.000 per kotaknya. Selain di jual kiloan, racikan makanan tersebut juga dapat dibeli sesuai dengan harga yang diinginkan.
Mbah Rajak mengawali usahanya sebagai pedagang jenang sekitar tahun 1968. “ Dahulu saya hanya seorang pedagang jenang keliling di daerah Sragen, karena belum memiliki tempat tinggal menetap.” Ceritanya. “ Saya sempat dua kali menyewa sebuah rumah tinggal untuk mengembangkan usaha, “ tambahnya. Karena usahanya makin berkembang akhirnya mbah Rajak mampu memiliki rumah sendiri di Jl. Kampar No. 7 Cantel Wetan, Kelurahan Sragen Tengah. Tidak hanya itu saja, sekarang mbah Rajak sudah memiliki tiga rumah yang tinggali ketiga anaknya.
Ditambahkan sejak suaminya meninggal, mbah Rajak menjadi tulang punggung keluarga, dan dengan kerja keras serta pantang menyerah akhirnya ia mampu menyekolahkan anaknya sampai kejenjang perguruan tinggi bahkan sekarang anaknya sudah lulus menjadi sarjana hukum.
Tentunya dari semuanya itu diperlukan suatu usaha yang gigih, dan keuletan dalam mengembangkan usahanya. Berawal dari usaha yang dikelolanya sendiri, sekarang mbah Rajak sudah memiliki 10 orang pekerja. Setiap hari usaha pembuatan jajanan mbah Rajak mampu menghabiskan bahan baku berupa beras ketan sebanyak 40 kg.
Sekalipun mbah Rajak sudah memiliki tujuh cucu dan tujuh buyut, ini tidak menyurutkan semangatnya dalam bekerja. Dan sekarang makanan yang diproduksi mbah Rajak sudah menjadi makanan khas Sragen yang banyak diminati semua kalangan masyarakat karena selain rasanya enak dan lezat , juga khas dilidah, harganya juga terjangkau.
Nah, bagi anda yang tertarik dengan jajanan mbah rajak, silahkan datang kerumahnya di Jl. Kampar No. 7, RT 03 RW XI Cantel Wetan, Sragen Tengah, atau di pasar Bunder pintu sebelah utara
Sabtu, 24 April 2010
PAGUYUBAN SRAGEN ASRI
Paguyuban Sragen Asri merupakan salah satu dari banyak komunitas orang-orang Sragen yang ada di Jakarta. Kebanyakan komunitas orang Sragen yang sudah ada ini memakai latar belakang usaha, misalnya pedagang, koperasi dan lain lain yang kebanyakan anggotanya sudah tidak muda lagi. Nah dibentuknya PSA ini diharapkan mampu menjembatani dan menghimpun orang-orang Sragen dari berbagai latar belakang profesi/usaha dan usia. Terbukti, dari yang hadir pada Rapat Anggota kemarin tidak hanya generasi tua saja, akan tetapi golongan muda pun ikut andil didalamnya.
Minggu, 11 April 2010
TAMAN DAYU
Di Kabupaten Sragen telah berdiri sebuah tempat wisata bernuansa pedesaan yang sangat lengkap dan sarat dengan nilai pendidikan dan hiburan. Dayu Alam A sri begitulah objek wisata ini dinamakan. Sesuai dengan namanya, tempat wisata ini sangat dekat dengan nuansa alam nan asri.
Terletak di Desa Dayu, Kecamatan Sragen sekitar 20 KM dari Kota Solo; Dayu Alam Asri menyimpan sejuta potensi yang siap dinikmati oleh para wisatawan dari berbagai usia. Selain karena keindahan alam pedesaan yang mempesona dengan deretan pohon jati yang menaungi areal seluas hampir 5 Ha, berbagai fasilitas pendukung telah disediakan demi kenyamanan para wisatawan yang berkunjung ke tempat ini. Antara lain : mini zoo , wahana bermain dan ketangkasan, agrowisata, resort , pendopo pertemuan, gazebo, kolam renang lengkap dengan arena luncuran, resto, dan sebagainya.
Sebuah kebun binatang mini ( mini zoo ) menjadi salah satu spot menarik dari objek wisata ini. Koleksi binatang yang hidup dan terpelihara dengan baik di mini zoo ini antara lain rusa, kanguru, landak, ular, burung merak, elang, berbagai jenis ikan langka seperti ikan lele afrika, ikan arapaima, danalligator fish .
Selain sebagai kebun binatang mini, tempat ini juga berfungsi sebagai tempat penangkaran beberapa jenis binatang di atas.
TAMAN JURUG
Taman Satwa Taru Jurug merupakan salah satu objek wisata di Kota Sragen-Solo. Taman Jurug menawarkan lokasi yang indah untuk beristirahat, di dalamnya terdapat berbagai spesies hewan dan tumbuhan. Dengan konsep wisata alam, jalan-jalan di dalam taman dikelilingi pohon-pohon besar dan rindang. Di dalam lokasi taman, kita akan sering menjumpai kawanan monyet dan berbagai jenis spesies burung.
Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) berlokasi di timur kota Solo, dekat perbatasan dengan Karanganyar. Taman wisata yang dahulu sempat menjadi primadona pariwisata di kota Solo ini, kini seakan kehilangan pamornya karena kurangnya pengelolaan selama bertahun-tahun
MUSEUM SANGIRAN
Museum Sangiran adalah museum arkeologi yang terletak di Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Museum ini berdekatan dengan area situs fosil purbakala Sangiran. Situs Sangiran memiliki luas mencapai 56 km² meliputi tiga kecamatan di Sragen (Gemolong, Kalijambe, dan Plupuh) serta Kecamatan Gondangrejo yang masuk wilayah Kabupaten Karanganyar. Situs Sangiran berada di dalam kawasan Kubah Sangiran yang merupakan bagian dari depresi Solo, di kaki Gunung Lawu (17 km dari kota Solo). Museum Sangiran beserta situs arkeologinya, selain menjadi obyek wisata yang menarik juga merupakan arena penelitian tentang kehidupan pra sejarah terpenting dan terlengkap di Asia, bahkan dunia.
Di museum dan situs Sangiran dapat diperoleh informasi lengkap tentang pola kehidupan manusia purba di Jawa yang menyumbang perkembangan ilmu pengetahuan seperti Antropologi, Arkeologi, Geologi, Paleoanthropologi. Di lokasi situs Sangiran ini pula, untuk pertama kalinya ditemukan fosil rahang bawah Pithecantropus erectus (salah satu spesies dalam taxon Homo erectus) oleh arkeolog Jerman, Profesor Von Koenigswald.
Lebih menarik lagi, di area situs Sangiran ini pula jejak tinggalan berumur 2 juta tahun hingga 200.000 tahun masih dapat ditemukan hingga kini. Relatif utuh pula. Sehingga para ahli dapat merangkai sebuah benang merah sebuah sejarah yang pernah terjadi di Sangiran secara berurutan.
Minggu, 04 April 2010
Kamis, 25 Maret 2010
SEJARAH KABUPATEN SRAGEN
Pangeran Mangkubumi adik dari Sunan Pakubuwono II di Mataram sangat membenci Kolonialis Belanda. Apalagi setelah Belanda banyak mengintervensi Mataram sebagai Pemerintahan yang berdaulat. Oleh karena itu dengan tekad yang menyala bangsawan muda tersebut lolos dari istana dan menyatakan perang dengan Belanda. Dalam sejarah peperangan tersebut, disebut dengan Perang Mangkubumen ( 1746 - 1757 ). Dalam perjalanan perangnya Pangeran Muda dengan pasukannya dari Keraton bergerak melewati Desa-desa Cemara, Tingkir, Wonosari, Karangsari, Ngerang, Butuh, Guyang. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Desa Pandak, Karangnongko masuk tlatah Sukowati.
Di Desa ini Pangeran Mangkubumi membentuk Pemerintahan Pemberontak. Desa Pandak, Karangnongko di jadikan pusat Pemerintahan Projo Sukowati, dan Beliau meresmikan namanya menjadi Pangeran Sukowati serta mengangkat pula beberapa pejabat Pemerintahan.
Karena secara geografis terletak di tepi Jalan Lintas Tentara Kompeni Surakarta – Madiun, pusat Pemerintahan tersebut dianggap kurang aman, maka kemudian sejak tahun 1746 dipindahkan ke Desa Gebang yang terletak disebelah tenggara Desa Pandak Karangnongko.
Sejak itu Pangeran Sukowati memperluas daerah kekuasaannya meliputi Desa Krikilan, Pakis, Jati, Prampalan, Mojoroto, Celep, Jurangjero, Grompol, Kaliwuluh, Jumbleng, Lajersari dan beberapa desa Lain.
Dengan daerah kekuasaan serta pasukan yang semakin besar Pangeran Sukowati terus menerus melakukan perlawanaan kepada Kompeni Belanda bahu membahu dengan saudaranya Raden Mas Said, yang berakhir dengan perjanjian Giyanti pada tahun 1755, yang terkenal dengan Perjanjian Palihan Negari, yaitu kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, dimana Pangeran Sukowati menjadi Sultan Hamengku Buwono ke-1 dan perjanjian Salatiga tahun 1757, dimana Raden Mas Said ditetapkan menjadi Adipati Mangkunegara 1 dengan mendapatkan separuh wilayah Kasunanan Surakarta
Selanjutnya sejak tanggal 12 Oktober 1840 dengan Surat Keputusan Sunan Paku Buwono VII yaitu serat Angger – angger Gunung, daerah yang lokasinya strategis ditunjuk menjadi Pos Tundan, yaitu tempat untuk menjaga ketertiban dan keamanan Lalu Lintas Barang dan surat serta perbaikan jalan dan jembatan, termasuk salah satunya adalah Pos Tundan Sragen.
Perkembangan selanjutnya sejak tanggal 5 juni 1847 oleh Sunan Paku Buwono VIII dengan persetujuan Residen Surakarta baron de Geer ditambah kekuasaan yaitu melakukan tugas kepolisian dan karenanya disebut Kabupaten Gunung Pulisi Sragen. Kemudian berdasarkan Staatsblaad No 32 Tahun 1854, maka disetiap Kabupaten Gunung Pulisi dibentuk Pengadilan Kabupaten, dimana Bupati Pulisi menjadi Ketua dan dibantu oleh Kliwon, Panewu, Rangga dan Kaum.
Sejak tahun 1869, daerah Kabupaten Pulisi Sragen memiliki 4 ( empat ) Distrik, yaitu Distrik Sragen, Distrik Grompol, Distrik Sambungmacan dan Distrik Majenang.
Selanjutnya sejak Sunan Paku Buwono VIII dan seterusnya diadakan reformasi terus menerus dibidang Pemerintahan, dimana pada akhirnya Kabupaten Gunung Pulisi Sragen disempurnakan menjadi Kabupaten Pangreh Praja. Perubahan ini ditetapkan pada zaman Pemerintahan Paku Buwono X, Rijkblaad No. 23 Tahun 1918, dimana Kabupaten Pangreh Praja sebagai Daerah Otonom yang melaksanakan kekuasaan hukum dan Pemerintahan.
Dan Akhirnya memasuki Zaman Kemerdekaan Pemerintah Republik Indonesia , Kabupaten Pangreh Praja Sragen menjadi Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen.
Rabu, 17 Maret 2010
Kabupaten Mojokerto dan Pasuruan beruntung punya banyak objek wisata alam di pegunungan. Ini penting sekali bagi orang Surabaya untuk melepas penat setelah kerja keras selama satu minggu. Tiap akhir pekan banyak orang Surabaya yang rekreasi ke pegunungan.
Menghirup udara segar, menikmati alam pegunungan yang sejuk. Maklum, udara di Surabaya sangat panas, bisa tembus 35-37 derajat Celcius pada puncak kemarau. "Akhir pekan kami sekeluarga, kalau gak ada halangan, mesti ke pegunungan," tutur Willy, pengusaha di Surabaya. Naik pegunungan itu bisa berarti Prigen, Tretes, Pacet, Ledok, Pujon, Batu, dan seterusnya.
Salah satu objek pegunungan yang bagus dinikmati adalah air terjun [kerennya: waterfall]. Ada tiga air terjun bertetangga: Kakekbodo, Putuktruno, Dlundung. Nah, Minggu 6 Januari 2007 saya menengok air terjun Dlundung di Trawas, Mojokerto. Ini kali pertama saya ke sana.
Jalan relatif bagus. Dari Sidoarjo [macet di Porong karena lumpur lapindo], Pandaan, masuk Raya Trawas, lalu berbelok ke arah Dlundung. Ada papan nama cukup besar. Para tukang ojek siap memberikan petunjuk kalau kita bingung. Sekira dua kilometer dari jalan raya, menanjak, sampailah di pintu gerbang.
Bayar karcis Rp 3.500 per orang [termasuk asuransi Rp 100]. Ini retribusi untuk Pemerintah Kabupaten Mojokerto. Beda dengan Kakekbodo atau Putuktruno [kedua air tejun ini di Kabupaten Pasuruan], kita bisa bawa kendaraan bermotor hingga di depan air terjun. Parkir, lalu jalan kaki sebentar saja sampai. Tak perlu ngos-ngosan macam di Air Terjun Kakekbodo.
Cipratan air terjun menambah sejuk suasana. Ada sensasi tersendiri. Kita bisa merasakan kebesaran Tuhan, berefleksi, di depan air terjun sekira 50-60 meter itu. Volumenya kecil saja. Suara air yang konstan, menghantam batu-batu gunung, asyik disimak. Di sini tidak begitu ramai karena lokasinya relatif jauh ketimbang Kakekbodo dan Putuktruno.
Saya perhatikan mayoritas pengunjung anak-anak muda. Mereka membawa pasangan [pacar] masing-masing. Bikin acara sendiri-sendiri. Khas anak muda, remaja, yang baru kenal nikmatnya berkasih mesra. "Memang yang datang ke sini umumnya anak-anak muda. Tapi ada juga lho keluarga yang bawa anak-anak," tutur Riyati, pemilik warung. Ibu ini didampingi Lia, anaknya.
"Sampean kok sendiri? Nggak bawa pasangan?" tanya Bu Riyati.
"Maunya sih pacaran, tapi ketuaan," jawab saya sekenanya. Bu Riyati, Lia, dan beberapa pengunjung tertawa lebar. Suasana makin gayeng. Saya pesan mie rebus, teh hangat, untuk sarapan. Lalu, saya bertanya sedikit tentang kondisi wisata alam Dlundung, Trawas, nan alami itu.
Air terjun Dlundung bukanlah objek wisata kemarin sore. Pada era Hindia Belanda lokasi ini sudah sering dikunjungi tuan-tuan dan nyonya-nyonya Belanda untuk rekreasi. Pada 10 Februari 2007, Carolina Lenkiewicz-Andreiessen alias Rieki berkunjung ke rumah Bapak Max Arifin [seniman, tokoh teater Jawa Timur, kini almarhum] dan Ibu Sitti Hadidjah di Mojokerto. Rieki ini anaknya Gerardus Andriessen, arsitek terkenal pada masa penjajahan Belanda.
Gerardus membangun banyak gedung bersejarah di Jawa, salah satunya kantor Gubernur Jawa Timur di Jalan Pahlawan Surabaya. Rieki kebetulan membawa album kenangan semasa di Jawa Timur. Di antaranya, air terjun Dlundung, Trawas, pada tahun 1934. Hebat benar orang Belanda! Dokumen lama pun masih dirawat dengan sangat baik.
Sebaliknya, kita di Indonesia lemah dalam urusan arsip dan dokumentasi macam ini. Bisa saya pastikan, Pemkab Mojokerto tidak punya foto masa lalu Dlundung atau objek wisata lain di Mojokerto. Harus cari di Belanda dulu! Hehehe.....
Membandingkan air terjun Dlundung pada 1934 dan 2008 sungguh jauh berbeda. Di foto lawas itu aliran air sangat deras, tebal. Sekarang saya perkirakan tinggal 20 persen saja. Saya bisa bayangkan betapa gemuruhnya air terjun Dlundung pada masa Hindia Belanda. Sekarang gemuruh itu tak ada. Hanya kecipak-kecipak kecil saja. Kalau tidak dijaga baik-baik, hutan gundul, bisa jadi suatu ketika air terjun ini hilang.
Hampir satu jam saya berada di lokasi air terjun Dlundung. Tak banyak yang bisa digali dari objek wisata alam ini karena petugas maupun pedagang di Dlundung tak punya referensi sejarah. "Saya jualan, jam lima sore pulang," kata Ibu Riyati.
Kamis, 11 Maret 2010
kesenangan
Dari sekumpulan orang yg mempunyai runtinitas berbeda, namun memiliki kegemaran yang sama yakni menjelajah alam. Awalnya, untuk menyalurkan hobi ini kami melakukannya dengan menggunakan sepeda MTB (mountain Bike) serta berpetualang dengan menuruni jalanan curam dengan sepeda berspesifikasi downhill.
Capek, lelah, dengkul terasa copot, serta bermandikan keringat itu sudah pasti kami temui. Namun, terkadang semua itu mendadak sirna karena di sekeliling rute yang kami lewati suasananya begitu segar dan alami.
Ketika kami berada di tengah keindahan alam ini, kami sering berlama-lama menikmatinya. Seolah kami enggan untuk melanjutkan perjalanan dan ingin tetap ingin menikmati pemandangan tersebut.
Alam yang menghampar begitu luas di hadapan mata kami, kami berfikir sangat butuh waktu lama untuk bisa menjelajahinya satu per satu dengan hanya mengandalkan sepeda bertenaga dengkul saja. Atau mungkin pekerjaan kami masing-masing bisa terbengkalai hanya demi hobi ini.
Berawal dari sinilah, kemudian kami bersepakat untuk mulai mencoba berpetualangan menyinggahi keindahan ciptaan Tuhan ini dengan mengendarai sepeda motor. Namun, keinginan tersebut tidak dengan mulus bisa dilakukan. Karena, untuk bisa menjelajah jalan-jalan setapak yang kondisi jalannya sulit ditebak bisa dilakukan dengan menggunakan motor trail.
“Wah, kalau sepda motor trail sih kami belum punya, yang ada hanya sepeda motor berspesifikasi on road untuk transportasi kami bekerja setiap harinya. Untuk beli trail pun sangat mustahil, uang dari mana Bro?”
tapi kendala itu bukanlah membuat kami patah arang. Makanya, kami pun mencoba untuk sedikit memodifikasi motor “harian” kami menjadi memiliki kemampuan untuk menjelajah alam. Mulai dari mengganti jenis ban dengan motif PACUL, spatbor, menambahkan hand guard, dan beberapa bagian lainnya. Motor kami pun dengan jenis berbeda juga, mulai dari Suzuki Thunder 125, Honda GL 100, Honda Win 100, dan ada yang jenis bebek yakni Honda Supra X 110.
Memang, apda awalnya kami tidak begitu yakin apakah motor hasil modifikasi kami ini mampu untuk melakukan jelajah alam dengan medan off road? Alhasil, ketika ada even KANJURUHAN SABHAWANA yang mengambil rute lereng Gunung Kawi, Panderman, lereng Arjuno dan wanawisata Coban Rondo, ternyata kami pun bisa melaluinya, meskipun harus jatuh bangun untuk meniti jalanan terjal dan berlumpur itu.
Nah, dari keyakinan bahwa sebenarnya tidak ada hal yang tidak mungkin itulah kemudian kami membentuk komunitas motor trail ini dengan nama TRAC'S (TRAC'S yang berarti motor, TRAC'S adalah singkatan dari Trail club adventure sepanjang)